FUUI Dorong Polda Berlakukan Restorative Justice Kasus Cidahu

Berita22 Dilihat

BANDUNG – Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) mendorong aparat kepolisian melakukan restorative justice pada kasus konflik keagamaan di Desa Tangkil Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi.

FUUI menilai, kasus dugaan perusakan rumah yang dijadikan tempat peribadatan agama tertentu, diawali adanya dugaan pelanggaran Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri. Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri.

Sebelum muncul kasus perusakan rumah, Jumat 28 Juni 2025 silam, jauh-jauh hari warga menyampaikan keberatan atas aktivitas peribadatan di rumah tersebut. Bahkan, aparat dari Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimcam) aparat desa hingga RT, sudah memeringati pemilik rumah, agar tidak dijadikan tempat peribatadatan secara masal.

“Kita harus melihat secara utuh kasusnya. Jika aturan SKB 2 menteri diterapkan, warga tidak akan terpancing melakukan anarkisme. Terlebih, sejak jauh-jauh hari, warga sudah melaporkan keberatan atas penggunaan rumah dijadikan tempat peribadatan,” ujar Ketua FUUI KH Athian Ali M Dai, Lc MA kepada wartawan, belum lama ini.

Kiai Athian mengatakan, seharusnya aparat pemerintahan bisa mendeteksi sejak dini potensi benturan di masyarakat. Terlebih, keberatan warga disampaikan sejak April 2025, sebagaimana keterangan aparat RT dan pihak Desa Cidahu.

“Aparat harusnya bijak dalam hal ini. Enggak begitu saja terus kemudian mereka dipidanakan. Kenapa mereka melakukan itu? Kesalahan siapa sampai mereka melakukan itu? Apakah mereka (warga, red) dari awal langsung berbuat anarkis atau perusakan? Jika iya kita bisa sebut itu pelanggatan. Tapi kan ini warga sudah lapor ke pemerintah, karena sangat tidak ingin terjadi benturan. Sudah lapor keberatakan ke pemerintah. Kenapa tidak diselesaikan sejak laporan dibuat?” tutur Kiai Athian.

Padahal, kata Kiai Athian, jika pemerintah setempat tanggap, kemungkinan terjadi benturan tidak akan terjadi. “Sekarang sudah kejadian adanya perusakan karena pemerintah dinilai lamban, terus ditangkepin. Ada peran pemerintah juga yang lamban, sehingga diharapkan aparat juga harus bijak dalam mengambil langkah hukum kepada warga,” ujar Kiai Athian.

Kiai Athian juga menegaskan, SKB 2 menteri berlaku untuk semua agama. Di wilayah minoritas Islam juga, tidak bisa seenaknya umat muslim mendirikan masjid. Misal, di Nusa Tenggara Timur (NTT) ataupun Papua.

“Pemberlakuan SKB 2 Menteri ini berlaku untuk semua agama. Jika sekarang ada anggota DPR malah meminta pemerintah meninjau ulang aturan tersebut, wakil rakyat itu tidak mengerti apa yang terjadi di masyarakat. Itu kan peraturan itu dibuat karena adanya benturan di masyarakat. Maka dibuatlah aturan itu, untuk supaya jangan sampai terjadi benturan di masyarakat,” tegasnya.

Diberitakan, sebuah rumah tempat singgah di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, menuai protes warga karena diduga digunakan sebagai tempat ibadah umat non-muslim tanpa izin resmi.

Aksi protes terjadi pada Jumat (28/6) siang, saat ratusan warga mendatangi rumah tersebut. Mereka menuntut agar aktivitas keagamaan dihentikan dan rumah dikembalikan fungsinya sebagai tempat tinggal sesuai izin yang berlaku.

Ketua RT 04, Hendra, menyebut rumah itu telah tiga kali digunakan untuk misa, bahkan sempat didatangi puluhan kendaraan. “Kami sudah menegur, tapi kegiatan tetap berlangsung,” ujarnya.

Kepala Desa Tangkil, Ijang Sehabudin, menegaskan bahwa rumah tersebut hanya berizin sebagai rumah singgah. Meski telah diberi peringatan, pemilik tetap menggelar kegiatan ibadah. “Masyarakat merasa tidak dihargai, sehingga akhirnya bergerak sendiri,” katanya.

Forkopimcam Cidahu, termasuk Polsek, Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan MUI kecamatan, telah melakukan langkah mediasi sejak tiga minggu sebelumnya. Namun, kegiatan tetap berlanjut hingga akhirnya memicu aksi warga.

Jumlah tersangka dalam kasus perusakan rumah singgah yang digunakan untuk kegiatan retret di Kampung Tangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, berujmlah delapan orang. (red)